Selasa, 10 Juli 2007

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Sungguh tiada yang layak untuk di ekspresikan kecuali nyanyian syukur yang terdalam kehadirat Ilahi Robbi, Sang Maha Raja Diraja karena atas semua ‘Intervensi’-Nya, acara Launching dan Diskusi Publik dengan tema ‘Konstitusionalisme dalam UUD 1945’ yang terselenggara berkat kerjasama Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat berjalan dengan lancar. Sholawat serta Salam Allah semoga tercurahkan keharibaan pelopor sekaligus pejuang Revolusi Besar Islam, Nabiyullah Muhammad SAW yang menunjukkan kita semua jalan terang menuju kesempurnaan peradaban.
Selanjutnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus ungkapan terima kasih tiada hingga kami terhadap Mahkamah Konstitusi RI atas kepercayaannya membangun kerjasama dalam acara tersebut, maka kami segenap pengurus PSHK FH UII bermaksud menyusun dan menyampaikan rekam jejak pelaksanaan acara tersebut dalam bentuk Laporan Hasil Kegiatan. Harapannya melalui laporan ini dapat diketahui, dianalisa dan dinilai urgensi dan kelayakan penyelenggaraan kegiatan tersebut. Dengan demikian dapat dijadikan referensi untuk membangun kerjasama dilain waktu. Selain itu dengan LPJ ini juga dimaksudkan sebagai ‘professional communication’ antara kami dengan MK RI sehingga kalau ada kekurangan dan kelemahan kami dalam menyelenggarakan acara tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat memberikan masukan yang berarti buat kami ke depan.
Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah, karenanya kalau ada kekurangan yang kami lakukan dalam menyelenggarakan acara tersebut maupun dalam menyusun Laporan hasil Kegiatan ini kami mohon maaf, sekaligus dengan segala hormat kami mengharap kritik dan masukannya.
Wallahu A’lam Bi Shawab.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.


Yogyakarta, 22 Februari 2007

Daftar Isi

Kata Pengantar ………………………………………………………………..1-2
Daftar Isi……………………………………………………………………….....3
Pendahuluan…………………………………………………………………...4-6
Laporan Tehnis Pelaksanaan
4.A. History Of Ceremony……………………………………………………….7
4.B. Daftar Nama Peserta……………………………………………………8-12
Transkrip Keynote Speech…..……………………………………………..13-23
Transkrip Diskusi Publik…………………………………………………..23-45
Kesimpulan…………...…………………………………………………………46
Penutup………………………………………………………………………….47


Pendahuluan
Gelombang diskursus mengenai amandemen konstitusi belakangan ini kembali marak diperbincangkan. Tercatat dari hari ke hari topik tersebut selalu menjadi primadona yang menghiasi lembar-lembar utama media massa. Diawali oleh Tiyasno Sudarto melalui Gerakan Revolusi Nurani yang menyatakan bahwa secara prosedural dan substansial amandemen konstitusi tidak sah dan salah kaprah. Senada dengan itu, Gus Dur juga beranggapan bahwa UUD 1945 tidak sah karena tidak dimasukkan dalam Lembaran Negara.
Gugatan terhadap Amandemen UUD 1945 dilakukan pula oleh para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhadap keterbatasan wewenang yang dimilikinya serta gugatan beberapa kalangan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap menjelma menjadi lembaga super. Gugatan yang sama dilakukan terhadap kedudukan Komisi Yudisial (KY) yang dianggap impoten setelah dipangkas kewenangannya oleh MK. Demikian pula gugatan terhadap kekuasaan MPR yang dirasakan terbatas sehingga tidak mampu berperan secara signifikan dalam kehidupan ketatanegaraan. Tetapi, berbeda dengan gerakan Gus Dur dkk, gugatan terakhir ini justru menghendaki dilakukannya amandemen kembali – semacam amandemen atas amandemen – agar dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan pada amandemen yang terdahulu.
Di pihak lain beberapa kalangan, seperti PDIP menolak adanya amandemen ke lima dengan dalih bahwa secara politis amandemen kelima UUD 1945 adalah bola liar. Sementara Jimly Asshidiqie ketua MK RI mengatakan bahwa UUD 1945 memang banyak kelemahan, namun untuk melakukan perubahan tidak perlu tergesa-gesa, menurutnya masa yang tepat saat ini adalah mengkaji UUD 1945 yang telah diubah empat kali. Dari kajian tersebut, dapat diketahui norma hukum maupun praktek implementasi dari berbagai perubahan yang dilakukan.
Merespon persoalan tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab intelektual perguruan tinggi, Universitas Islam Indonesia, melalui Pusat Studi Fakultas Hukum UII bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI menggelar Diskusi publik yang bertemakan ‘ Konstitusionalisme dalam UUD 1945’.
Hasilnya para nara sumber memiliki beragam pandangan. Dr. Harjono sebagai keynote speech menyatakan bahwa konstitusionalisme dalam UUD 1945 pada aspek pembatasan kewenangan sebenarnya cukup terjamin. Argumentasinya amandemen pasal I ayat (2) yang berbunyi bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU, Adalah sebuah perubahan revolusioner yang mengamamendir pasal 1 ayat (2) sebelumnya yang menyatakan bahwa Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Dianggap revolusioner karena apabila dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR maka sesungguhnya yang memegang kedaulatan adalah MPR bukan rakyat. Dengan demikian apabila mengacu pada pasal 1 ayat (2) pra amandemen maka sesungguhnya kedaulatan rakyat itu tidak ada. Dengan adanya amandemen pasal krusial tersebut maka kedaulatan kini kembali berada pada tangan yang sesungguhnya yaitu rakyat.
Sementara Prof. Dahlan Thaib, memberikan argumentasi bahwa dilihat dari sisi adanya cheks and Balances sebagai aspek dari pembatasan kekuasaan. Sebenarnya UUD 1945 pasca amandemen belum memberikan suatu cheks and balances, khususnya dari sisi diberlakukannya sistem bikameral. Indikasinya wewenang DPD masih sangat lemah dibanding DPR. DPD tidak lebih sebagai dewan pertimbangan DPR dalam membuat sebuah produk legislasi. Dengan kata lain DPD dari aspek kewenangan disebutnya sebagai senat banci.
Berbeda dengan pembicara yang lain, Dr. Aidul Fitria lebih menyoroti pada proses amandemen UUD 1945 yang dinilainya bermasalah. Titik masalahnya ada pada perubahan ketiga dan keempat yang tidak lagi menggunakan paradigma transisi demokrasi, tetapi menggunakan paradigma perubahan sistem pemerintahan ke arah presidensil murni. Padahal menurutnya tidak ada korelasi antara demokratisasi dengan perubahan sistem pemerintahan. Hal ini jugalah yang membuat tidak adanya koherensi antara pasal-pasal yang ada dalam perubahan ke-satu dan ke-dua dengan hasil amandemen ke-tiga dan ke-empat.
Sedangkan Dr. Syaifuddin sebagai pembicara terakhir memberikan pandangan bahwa dari aspek partisipasi masyarakat, MPR sebenarnya sudah cukup memfasilitasi adanya ruang partisipasi tersebut. Namun demikian, bentuk partisipasi masyarakat dalam memberikan partisipasi masih bersifat pasif. Ini mengindikasikan bahwa terdapat minimnya kepercayaan rakyat terhadap MPR.

Laporan Tehnis Pelaksanaan
A. History Of Ceremony
09.00 - 09.05 Pembukaan oleh Master of Ceremony
09.05 - 09.20 Pembacaan Kalam Ilahi
09.20 - 09.35 Sambutan Oleh Direktur PSHK FH UII
09.35- 09.55 Sambutan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia yang diwakili oleh Dekan Fakultas Hukum UII sekaligus membuka secara resmi acara Launching dan Diskusi Publik.
09.55 - 10.50 Keynote Speech oleh Dr. Harjono, SH., M.C.L mewakili Mahkamah Konstitusi RI.
10.50 - 11.05 Coffee Break
11.05 - 13.30 Diskusi Publik dengan tema “Konstitusionalisme dalam UUD 1945”
13.30 - 13.35 Penutup/Do’a
01.35 - 14.00 Have Lunch


B. Daftar Nama Peserta
No
Nama
Instansi
Tanda tangan
1
Yos El-Roy S
PKBH UGM

2
H. Dodik Setiawan N. Heriyanto
PUSDIKLAT

3
Ridwan Adi Sulistiyo
FH UII

4
Elis Setiawati
UIN

5
Arif Nur Afifah
LSKP

6
Mahrus Ali
PSH

7
Bakrie Denin,S.H, MH
UWMY

8
Rakyan Adi Brata
FH UII

9
Ali Roja’i
DPM FH UII

10
Eko Hertanto
Al Azhar

11
M. Nuh Hadawi
FH UII

12
Ahmad Hidayat Nurdin,SH
LKBH

13
Nandang Sutrisna
Wakil Dekan FH UII

14
IWI SA
FH UCY

15
Andy Omara
FH UGM

16
Jayanti Puspitaningrum
FH UII

17
Nitri Songaji
FH UII

18
Nawang Sekarjati
FH UII

19
Sri Hastuti
Dosen FH UII

20
Udiyo Basuki,SH.,MHum
FSY UIN

21
Heri Purwana
REPUBLIKA

22
Ardi T
B-21

23
Eka Saputra
FH UII

24
Andri Zulian P
Ketua LEM FH UII

25
Lidia Paramita
FH UII

26
Imam Rifki Pratama
Al Azhar

27
M.Syamsul Arifin
HMI

28
Muhammad Mahfud
FH UII

29
Rahmani
PSI UII

30
Hudono
KR

31
Sri Handayani RW
FH UJB

32
Bambang S
FH UII

33
Arief Firmansyah
FH UII

34
Ahmad Lanang
FH UII

35
Sulaiman
FH UMY

36
Salahudin Abadi
FH UMY

37
Jamaludin Ghofur
FH UII

38
Erianto
FH UII

39
Dimas Satrio Budi
FH UII

40
Muhammad Arief
FH UGM

41
M.Nur Islami
FH UCY

42
Wahyu Puspita Hartanti
Magister Hukum UII

43
Kanya Ayu Damayanti,SH
Magister Hukum UII

44
Mila Karmila Adi
Dosen FH UII

45
Amelia Sukmasari
Internasional Program

46
Samsul Hadi
Pemda DIY

No
Nama
Instansi
Tanda tangan
47
Bahar
ICM

48
Ariefulloh
LKBH

49
M. Satria Abdi,SH.,MH
FH UAD

50
Diaz Nurima Sawitri
FH UII

51
Irfan
Isipol

52
Ogiandhafiz Juanda
FH UII

53
Manap Romadhon
PKPA

54
Zaid Muzafi
FH UII

55
Echo Nurisman
FH UII

56
Hesti
Pusdiklat

57
Tri T
Pusdiklat

58
Efda Elfitri
LKBH

59
Norma Dhiastuti,SH
LKBH

60
Yati Nurhayati
FH UII

61
Aldiansyah N.S.T
FH UII

62
Adika Yustianto
FH UII

63
Eriek
FH UII

64
Andrie S
Pimpinan DPRD Yogya

65
Andy
FH UII

66
Irwansyah
FH UMY

67
Rudhi
FH UMY

68
Crisgo Alvian
FH UMY

69
Anita Kriptiani
FH UMY

70
Pristika Handayani
FH UMY

71
Feri Firmasyah
Magister Hukum UII

72
Ridwan,SH.,MH
Dosen FH UII

73
Nanik Prasetyoningsih,SH
FH UMY

74
Budi Pratomo,SH
PKBH UMY

75
Heri Purwanto,SH
PKBH UMY

76
Kusharyanto,SH
ICM

77
Bagus Kurniawan
FH UGM

78
M.Fahmi Hidayat,SH
LKBH UII

79
Dian Utami Putra,SH
LKBH UII

80
Aris Yuri K,SH
DPRD Sleman

81
Sulasmi
Rifka anisa Yogya

82
Yuli Ardiansah,SE
Humas UII

83
M.Zulfa Aulia,SH
PS HAKI

84
Sukarman
Biro Hukum Yogya

85
Nur Ismanto,SH.,M.Si
Ketua IKADIN Yogya

86
Zaenal Abidin
PKBH UAD

87
Anang Syamsi,SH
FH UMY

88
Mashum Ahmad,SH
FH UII

89
Azwar Anam
FH UII

90
Abang Suparjo
FH UII

91
Achmad Dodi Setyawan
Ketua HMI

92
Awan Aditya
HIMMAH

93
M.Slamet Jupri,SH
LKBH

94
Sumiardi
HMI

95
Hari Kusuma
Peradila Semu FH UII

96
Ade Putra Aryanto
FH UGM

97
Muhammad Alfin Syahrin
FH UGM


No
Nama
Instansi
Tanda tangan
98
Melia Nur P
Peradila Semu FH UII

99
Mia Suryaani
PS UII

100
Pudja Pramana,SH.,MH
FH UJB

101
Dian Trisnanti,S.S
UNISI

102
Kunthi Diah Wardani,SH
UII

103
Susanto Budi
UII

104
Anang Zubaidi
LOD DIY

105
Headi Anggoro,SH
LKBH

106
Syahrul Ramadhan
LPM Keadilan

107
Syarief Nurhidayat
FH UII

108
Boy Tidarmawan
DPM FH UII

109
Hendra Kurniawan
PS UII

110
Ilham Amaliyati
PS UII

111
Agung
RB TV

112
L.M Sobari. S
PSHKI

113
Chandra Gubta
PSHKI

114

Transkrip Keynote Speech:
Dr.Harjono SH., MCL (Hakim Mahkamah Konstitusi RI) :
Proses kelahiran UUD 1945 sebagai konstitusi adalah dari kemerdekaan. Di negara lain ada UUD yang tidak lahir dari kemerdekaan, tetapi lahir dari proses historis. Sebagai contohnya adalah Inggris. Inggris tidak berniat secara sengaja untuk merancang konstitusi, tetapi karena pergerakan-pergerakan dan proses histories yang dilaluinya pada akhirnya memiliki konstitusi.
Sedangkan untuk kasus Indonesia dari awal sebelum kemerdekaan secara sengaja menyiapkan satu naskah konstitusi yang setelah merdeka nantinya akan di jadikan konstitusi negara. Awalnya perumusan konstitusi dirancang oleh BPUPKI kemudian disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi resmi negara.
Background sejarah diatas penting untuk dikemukakan karena akan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya berkenaan dengan apa sesungguhnya tujuan dari terbentuknya sebuah negara dengan konstitusi yang ada tersebut, atau akan dimulai dari mana kita bernegara. Kalau mengacu pada Pembukaan UUD 1945, maka salah satu tujuan negara adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berangkat dari poin tujuan negara tersebut, maka tujuan yang paling mendasar dari terbentuknya negara adalah untuk menciptakan social justice. Social justice tidak datang dengan sendirinya, tetapi -meminjam terminologi Jawa- harus ada rekodoyo atau daya upaya untuk menggapainya. Salah satu mediasinya adalah dapat dicapai dengan membentuk negara. Jadi prosesnya adalah berangkat dari bangsa yang bebas kemudian agenda berikutnya adalah menciptakan social justice, adapun alat untuk mencapainya adalah dengan membentuk sebuah negara.
Keberadaan negara dengan demikian harus di drive untuk menuju pada social justice, sebab kalau tidak, bisa jadi negara justru menjauhkan kita dari social justice. Kalau kita seringkali mendengar bahwa law is a tool of social engineering, maka negara harus juga memiliki instrumen engineering/rekayasa untuk mewujudkan social justice. Dan instrumen itu adalah konstitusi. Dengan demikian constitution is a tool of national engineering.
Untuk merekayasa agar negera benar-benar mengarah pada social justice, maka dibutuhkan pemahaman tentang potensi-potensi yang akan direkayasa itu apa. Sebagai bahasa penjelasnya, apabila kita berbicara tentang penanggulangan banjir, maka yang harus direkayasa adalah daya rusak air, seperti hukum-hukum apa yang ada di air itu. Biasanya dalam hal ini yang akan dijadikan referensi adalah hukum Archimedes. Kalau kita bicara tentang persoalan energi seperti panas bumi sebagai pembangkit tenaga listrik maka yang harus direkayasa adalah bahan-bahan baku apa yang dapat direkayasa sebagai bahan pembangkit listrik tersebut.
Didalam konstitusi maka yang harus di rekayasa adalah kekuasaan. Karena ciri khas dari negara adalah memiliki kekuasaan. Karena itu harus dipahami betul hukum-hukum kekuasaan. Kalau Lord Acton menggambarkan bahwa Power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely. Maka salah satu hukum kekuasaan adalah cenderung korup, karenanya konstitusi harus diarahkan untuk merekayasa dan mengeliminasi kecenderungan-kecenderungan seperti itu. Dengan demikian kekuasaan dapat diarahkan pada satu yang positif.
Dari narasi dasar di atas, maka konstitusi tidak boleh hanya dipahamai sebagai legal document. Tetapi konstitusi juga political document yang lahir dari kepentingan-kepentingan yang memiliki power dalam proses perumusannya. Sebab itu memandang power atau kekuasaan sebaiknya jangan dimulai dari niat baik atau meminjam bahasa agama husnudhon. Tetapi melihat power harus dimulai dengan kecurigaan-kecurigaan, bukan pada orangnya tapi pada powernya.

Menyoal Perubahan UUD 1945
Pembentukan UUD 1945 dimulai dari semangat dan itikad baik penyelenggara negara. Hal itu selalu di tunjuk pada penjelasan UUD 1945 pra amandemen. (tambahan dari redaksi : Hasilnya UUD 1945 justru melegitimasi lahirnya dua pemerintahan otoritarian yaitu di masa demokrasi terpimpin-nya Soekarno dan di era orde baru-nya Soeharto)
Dalam konteks sekarang ketika santer terdengar wacana perubahan konstitusi jilid kelima, maka yang harus di perhatikan adalah jangan sampai kemauan merubah konstitusi itu hanya pada level semangat dan itikad baik semata. Semangat saja tanpa disertai tawaran dan konsep kongkrit akan materi yang akan diubah justru mengandung potensi bahaya karena akan menjadi bola liar.
Hal tersebut sifatnya urgen untuk dipertimbangkan mengingat poin mendasar yang harus dicapai bukanlah perubahan itu sendiri, tetapi bagaimana hasil perubahan itu benar-benar memberikan manfaat yang kongkrit untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab itu kalau tidak hati-hati, geliat untuk merubah UUD jika hanya berhenti pada level semangat saja justru akan menjebak kita untuk jatuh pada lobang yang sama, dan sejarah telah mengajarkan itu. Dengan demikian harus ada blue print yang jelas sebagai tawaran atas perubahan tersebut.
Sebagai gambaran juga, tidak lama setelah reformasi, atau persisnya pada tahun 1999, UUD 1945 di amandemen. Sebenarnya pada saat itu belum dibayangkan mau diubah dan di cetak seperti apa perubahan konstitusi itu. Yang menantang didepan mata saat itu adalah persoalan executive heavy yang menjadi dasar legitimasi Soeharto untuk berkuasa secara tiran selama hampir tujuh periode. Karena itu yang dirubah pertama kali adalah pasal 5 dan 20, sebab pasal tersebut menggambarkan bagaimana executive heavy tersebut bercokol di konstitusi. Pasal 5 kemudian diubah menjadi pasal 20 dan pasal 5 disesuaikan dengan perubahan pasal 20. oleh karena itu pasal 5 yang berbunyi Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Di pindah ke pasal 20 yang berbunyi DPR memegang kekuasaan untuk membentuk UU. Perubahan tersebut diarahkan untuk mengeliminasi executive heavy.
Menjadi pertanyaan juga apakah perubahan konstitusi selama empat jilid itu sudah merubah paradigma tentang bagaimana membuat kekuasaan agar tidak absolut?
Ketika pertama kali kita mengubah UUD maka yang akan di temukan adalah perubahan pasal 1 ayat (2). dalam UUD 1945 pra perubahan, pasal 1 ayat (2) berbunyi bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Kemudian diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksakan menurut UU.
Meskipun hanya beberapa kata yang di ubah, tetapi hal ini mengandung perubahan paradigma yang mendasar. Kalau kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksakan sepenuhnya oleh MPR maka ini menunjukkan absolutisme kekuasaan MPR dan tidak akan ada lagi yang dipunyai rakyat karena semuanya sudah diserahkan sepenuhnya ke MPR. Hal ini juga bertentangan dengan salah satu aspek penting dari konstitusionalisme yaitu keharusan adanya pembatasan kekuasaan.
Teori kedaulatan sendiri dibangun pertama kali di Prancis oleh Jean Boddin, menurutnya sifat kedaulatan adalah mutlak, tidak bisa dibagi dan dipindahkan (untransferable). Dengan demikian pasal 1 ayat (2) pra perubahan yang menyatakan bahwa kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sifatnya adalah transferable, karena itu bertentangan dengan teori kedaulatan yang di introdusir oleh Jean Bodin tersebut.
Sementara teori demokrasi sebenarnya asal usul atau sumbernya bukan berasal dari teori kedaulatan. Antara kedaulatan dengan demokrasi memiliki sumber yang berbeda. Sumber teori demokrasi berangkat dari negara kota di Yunani yang lebih berbicara pada persoalan partisipasi dalam pemerintahan polis. Sedangkan kedaulatan barangkat dari satu absolutisme. Jean Boddin mengintrodusir teori ini ketika terjadi kekacauan akibat perang saudara di Perancis. Pada saat itu Jean boddin mengatakan ” inilah akibatnya kalau tidak ada kedaulatan (sovereignity)”. Karena itu secara filosofis antara demokrasi dan kedaulatan berangkat dari sumber yang berbeda.
Dalam perkembangannya, keduanya bertemu, seolah kedaulatan itu menjadi teori dari demokrasi setelah abad pertengahan dan menjelang abad 18. Kedaulatan kemudian menjadi numpuk dengan teori demokrasi. Demokrasi selanjutnya mengubah makna kedaulatan bahwa demokrasi adalah kedaulatan ditangan rakyat. Padahal originally bersumber pada dua hal yang berbeda. Tetapi ketemu dalam pasal 1 ayat (2) pra perubahan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Dalam persoalan tersebut, maka di masa lalu MPR adalah lembaga tertinggi negara, dan bila di kontekstualisasikan dengan teori kedaulatan, maka MPR adalah can’t do wrong. Sebab sifat kedaulatan adalah mutlak. Dengan bahasa yang lebih ekstrim apabila sudah ada pasal 1 ayat (2) pra perubahan maka tidak perlu lagi pasal-pasal yang lain, apa yang menjadi kehendak MPR itulah hukum sesungguhnya.
Siapa kemudian yang memegang the real power di MPR?, maka jawabannya adalah the majorities. Apabila didalam MPR ada tiga kekuatan, yang pertama 40 persen, kedua 40 persen dan ketiga 20 persen. Maka tidak mesti 40 persen yang pertama atau kedua itu adalah mayoritas. Bisa jadi malah yang 20 persen itulah yang mayoritas, sebab 40 persen yang pertama atau kedua tidak akan menjadi decision maker kalau tidak ada dukungan dari yang 20 persen. Untuk memberi dukungan tentu akan disertai dengan kontrak-kontrak politik tertentu. Oleh karena itu memahami konstitusi sekali lagi tidak hanya sekedar sebagai legal document tetapi juga political document dimana terjadi the Playing of power di MPR. Begitu juga dalam mengusung agenda untuk mengubah UUD maka harus belajar pada realitas politik tersebut.
Sebenarnya kelembagaan dalam satu sistem ketatanegaraan tidaklah menjadi soal apapun bentuknya, tidak ada hukumnya bahwa harus bikameral atau unikameral. Yang terpenting adalah bagaiamana konstitusionalime yang fungsinya membatasi kewenangan itu harus bisa efektif.
UUD 1945 pasca perubahan tidak lagi disusun secara hirarkis. Ada yang mengatakan separation of power atau divison of power. Tetapi sebenarnya UUD pasca perubahan adalah disusun secara functionally distributed. Karena itu maka tidak perlu dibanding-bandingkan mana tinggi mana rendah. Tetapi harus lebih dilihat pada aspek fungsionalitasnya.

Tanya
Nur Ismanto (Pengacara):
Setelah MK berjalan sisi positifnya banyak dirasakan, namun disi lain ada juga opini yang berkembang mengenai putusan-putusan mahkamah konstitusi yang dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan multi tafsir.

Respon Dr. Harjono SH.,MCL:
Definisi keadilan adalah debatable dan tidak terselesaikan sampai sekarang, apakah konsep Aristoteles mengenai distributive justice itu masih relevan masih juga jadi perdebatan.
Hal yang muncul di MK RI adalah perkara, dan perkara itu inheran didalamnya adalah kontroversi. Disana ada yang mempermasalahkan dan ada yang dipermasalahkan. Karena itu dalam setiap putusan pasti ada yang merasa dirugikan dan ada yang merasa diuntungkan.
Didalam satu sistem peradilan yang berlaku adalah to same point must be stop. Jadi harus berhenti, tidak boleh sistem itu ditanya-tanya terus. Karena itu ada satu asas dlam hukum yaitu Res Judicata Fasitius. Putusan pengadilan harus diterima sebagai senyatanya hukum. Terlepas dari rasa adil atau tidak. Karena memang di tuntut untuk to same point must be stop. Beda dengan lembaga legislative. Sekarang tidak bisa mungkin selanjutnya ada revisi sehingga dibolehkan. Jadi filsafat dari pengadilan harus memutus suatu perkara dan hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.
Proses peradilan MK berbeda agak dengan peradilan biasa, proses peradilan MK adalah didasarkan penafsiran hakim MK dari materi-meteri yang ada di konstitusi. Karena itu apapun putusan MK RI harus kembali dilihat di konstitusi.
Berkenaan dengan kontroversi putusan MK RI tentang KY yang salah satu poinnya adalah hakim MK tidak bisa diawasi oleh KY yang berarti MK memutus untuk dirinya sendiri, maka untuk menilainya harus dilihat secara sistematika. Kalau MK itu adalah lembaga tinggi negara yang diberi kewenangan oleh UUD untuk memutus sengketa antar lembaga tinggi negara. Maka KY adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Sebab itu MK memiliki kewenangan untuk memutus perkara yang berkaitan dengan KY.
Selain itu juga didasarkan pada pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Merdeka disini bukan berarti previllage hakim. Tetapi makna merdeka adalah sebuah kewajiban yang harus dipegang hakim. Hal ini jugalah yang dikonsepkan oleh para founding father’s kita. Kemerdekaan hakim itu juga sebagai jaminan akan perlindungan hak asasi manusia. Sebab kalau hakim tidak merdeka dan dibawahi eksekutif misalnya, maka hakim akan menjadi terikat dan tidak bisa menjamin hak-hak rakyat yang berperkara.

Syamsul Arifin (Mahasiswa Hukum UII)
Solusi kongkritnya seperti apa apabila ada kelemahan dalam UUD?

Respon Dr. Harjono SH.,MCL
Harus dilihat tingkat kelemahannya itu dimana. Sebab satu ketentuan memiliki spesifikasi sendiri. Misalnya berkenaan dengan pengaturan HAM pasal 28 A sampai J yang masih abstrak di konstitusi. Di MK muncul persoalan mengenai hukuman mati, sebab di konstitusi terdapat jaminan akan hak hidup dan kehidupan secara mutlak. Karenanya human mati dianggap bertentangan dengan konstitusi. Tetapi masalahnya MK tidak bisa memutuskan apakah hukuman mati itu boleh atau tidak, kapan itu boleh kapan tidak. Tetapi perkara itu harus juga diputuskan.
Kemudian untuk persoalan DPD yang mewacanakan perubahan konstitusi dalam rangka untuk memberi kewenangan padanya untuk turut serta membuat UU. Secara konstitutif keinginan itu di bolehkan berdasar pasal 37 UUD 1945. Persoalan goal atau tidak itu persoalan di MPR. Tanpa bermaksud menghambat keinginan DPD, ada hal yang perlu dipelajari, terutama juga oleh PSHK ini. Ada tiga wakil rakyat sebenarnya, yaitu DPD,DPR dan Presiden. Kenapa Presiden dimasukkan karena juga dipilih oleh rakyat. Sebab itu demokrasi kita sudah melewati dua tahap yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan bertumpu pada DPD,DPR dan Presiden.
DPR bertemu dengan Presiden maka produknya adalah UU, sementara untuk membuat UUD adalah DPR dan DPD. Kalau perjuangan DPD goal untuk ikut serta dalam membuat UU, maka ada hal yang menjadi tidak logis. Untuk membuat UU yang tingkatnya dibawah UUD bertemu tiga lembaga negara yaitu DPR, Presiden dan DPR. Sementara untuk membuat UUD yang tingkatannya lebih tinggi hanya oleh dua lembaga yaitu DPD dan DPR. Jadi jangan hanya karena merasa wakil rakyat kemudian akan menjadi sangat demokratis kalau terlibat dalam segala hal.
Persoalan DPD sebenarnya menyangkut karena adanya MPR, kalau tidak ada MPR maka DPD tidak diperlukan. Persoalannya jika tidak ada MPR maka siapa Konstituantenya yang berwenang membuat UUD?, itu yang harus dipikirkan. Sebagai salah satu alternatifnya, bisa saja naskah UUD dibuat oleh DPR dan Presiden kemudian di referendum. Tapi jangan mengusulkan satu konsep yang campur aduk dan tidak jelas.

Transkrip Diskusi Publik
Prof. Dahlan Thaib SH., M.Si
Persoalan konstitusionalisme itu terkait dengan konstitusi, konstitusional dan konstitusonalisme. Sebuah negara harus ada yang mengatur dan yang mengatur itu adalah konstitusi. Apabila penyelenggara negara dalam menjalankan tugas kenegaraanya menentang konstitusi maka itu adalah inkonstitusional. Sementara konstitusionalisme adalah satu paham paham yang muncul sekitar abad 20 bertepatan dengan renaissance. Ada tiga aspek dalam konstitusionalisme.
1. Adanya pembatasan kekuasaan. (aspeknya cheks and balances).
Pembatasan kekuasaan menyangkut tiga hal, yaitu periodesasi, pengawasan dan pertanggungjawaban.
Kenapa harus ada pembatasan kekuasaan. Karena power tends to corrupt. Sebab itu harus dibatasi. Dan yang membatasi itu adalah kaidah-kaidah hukum yang ada di konstitusi.
Dari sisi periodesasi, UUD 1945 pasca amandemen tidak bermasalah karena sudah dibatasi selama dua periode. Berbeda dengan UUD 1945 pra amandemen yang tidak ada pembatasan. Akibatnya menjadi instrument legal bagi Soeharto untuk berkuasa hampir selama tujuh periode. Satu periode kekuasaan yang teramat panjang dalam sejarah dunia modern.
Tetapi kalau kita membaca kekuasaan presiden dalam UUD 1945 sebenarnya juga sangat besar dan meliputi hampir semua bidang meliputi eksekutif, yudikatif, legislatif, militer, politik luar negeri dll. Persoalan presiden berani atau tidak menggunakan kekuasaannya, maka itu adalah persoalan karakter bukan persoalan konstitusi. Karena itu apabila Presiden menggunakan kekuasaannya tidak boleh dianggap otoriter karena itu amanah konstitusi.
Salah satu aspek dalam pembatasan kekuasaan adalah cheks and balances. Didalam UUD 1945 pasca perubahan tidak ada cheks and balances. Paramaternya dapat dikur dari tidak seimbangnya kewenangan DPD dan DPR. Kewenangan DPD menurut UUD dibawah kewenangan yang diberikan pada DPR. Dalam legislasi misalnya, kewenangan DPD tidak lebih hanya sebagai dewan pertimbangan DPR. Karena DPD tidak memeiliki kewenangan pada saat putusan final UU. Dengan bahasa yang lain DPD adalah senat banci. Parameter selanjutnya untuk mengukur lemahnya DPD dalam sistem bicameral adalah adanya salah satu pasal dalam konstitusi yang menyatakan, Presiden dapat di impeach melalui usul DPR. (hanya DPR, tidak mencantumkan DPD).
2. Negara Hukum
Di Indonesia paham negara hukum (rechstaat) masih belum tegak, justru cenderung menjadi negara kekuasaan (machstaat). Salah satu alasannya putusan hukum MK untuk memberhentikan Presiden atas usul DPR dapat di anulir oleh putusan politik MPR.
Mengenai kekuasaan kehakiman, dimasa lalu Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA dan badan-badan peradilan lain dibawahnya. Sekarang kekuasaan kehakiman di bagi menjadi dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Idealnya kekuasaan kehakiman tetap berada dibawah MA. Sedangkan peradilan lainnya seperti PTUN, PN, PT, Peradilan Militer berada dibawah MA, termasuk didalamnya adalah peradilan konstitusi. Karena itulah MK sepertinya bertahan agar tidak terjadi perubahan UUD 1945 jilid selanjutnya karena dikhawatirkan akan memangkas kewenangannya.

3. Hak Asasi Manusia.
Secara umum pasal 28 poin A-J dalam UUD 1945 sudah cukup memadai. Sekedar flash back, dulu pada periode 1945 saat BPUPKI bersidang terjadi silang pendapat antara Soepomo dan M.Yamin. Menurut Soepomo aturan tentang HAM tidak perlu diatur di konstiusi, cukup diatur di UU. Berbeda dengan Soepomo, M.Yamin mengusulkan bahwa HAM harus tetap diatur di konstitusi. Pada akhirnya usulan Yamin yang diterima.



Dr. Aidul Fitriciada SH., M.Hum:
Seperti yang dikatakan Dr. Harjono, Konstitusi tidak hanya dapat dilihat dari legal document ansich, tetapi juga political document. Karena itu dalam kesempatan kali ini yang akan diangkat adalah aspek socio legal-nya yang seringkali dilupakan.
Negara-negara di Asia tenggara yang menggunakan sistem parlementer (Tahiland, Malaysia, Singapura dan terakhir Vietnam,) ternyata lebih maju di banding dengan negara yang menggunakan sistem presidensial (Filiphina, Myanmar dll). Dengan demikian dapat ditarik satu konklusi bahwa sistem pemerintahan yang cocok untuk kultur melayu sebenarnya adalah justru sistem parlementer. Khusus untuk Myanmar, sebenarnya dulu belajar dari Indonesia pada masa Soeharto berkuasa. Tetapi setelah soeharto lengser, Myanmar kemudian kehilangan soko gurunya. Sementara untuk Filiphina, menurut Huntington bukan berasal dari kultur melayu, tetapi di masukkan pada kultur Amerika Latin.
Menurut hasil penelitian Juan J. Lins tentang perbandingan sistem pemrintahan parlementer dan presidensial, disana ditemukan bahwa ternyata di negara-negara yang baru mengalami proses transisi umumnya menggunakan sistem pemerintahan parlementer karena lebih fleksibel untuk mendorong dinamika pemerintahan. Sementara yang menggunakan sistem presidensial justru mengalami siklus kudeta yang terus menerus. Meskipun dalam penelitian itu dinyatakan inkonklusi atau tidak dapat dinyatakan benar-benar seperti itu.
Untuk amandemen Konstitusi, yang harus dilihat adalah konteksnya yang berada pada masa transisi. Selama ini tidak disadari bahwa konteks transisi adalah konteks demokratisasi yang tujuan akhirnya menurut Juan J. Lins adalah semacam konsolidasi demokrasi. Yaitu situasi dimana UUD adalah ‘the only game in town’. satu-satunya aturan yang ditaati dan disetujui oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sekarang hasil amandemen UUD 1945 banyak yang menggugat, mulai dari gerakan revolusi nuraninya Tiyasno Sudarto, gerakan cabut mandat, gugatan ketidak absahan UUD oleh Gus Dur, sampai keinginan DPD menggulirkan wacana amandemen ke lima. Kesemuanya itu menandakan bahwa UUD 1945 pasca amandemen tidak bisa menjadi the only game in town. Atau degan kata lain gagal menjadi instrumen konsolidasi demokrasi.
Namun begitu, perlu dicatat bahwa instrumen dari konsolidasi demokrasi tidak hanya UUD 1945, ada instrumen lain yaitu pemilu. Dan persoalan pemilu sejauh ini tidak ada masalah. Dari tahun1999 sampai sekarang tidak ada masalah dengan pemilu. Meskipun banyak orang membenci parpol, namun kadang masih juga dirindukan. Dengan demikian pemilu sudah diakui sebagai the only game in town.
Dalam proses amandemen pertama dan kedua dasarnya adalah demokratisasi. Proses demokratisasi ini kemudian melahirkan konstitusionalisme, yaitu adanya pembatasan kekuasaan. Perlindungan HAM, Judicial Review dll. Namun pada amandemen ketiga dan keempat mulai terjadi pergeseran paradigma, bukan lagi paradigma transisi yang dipakai tetapi paradigma perubahan sistem pemerintahan.
Pergeseran paradigma yang berlangsung dalam jangka pendek itu mengakibatkan proses amandemen menjadi tidak koheren antara amandemen yang terdahulu dengan yang selanjutnya. Sebagai contohnya, ketentuan tentang pemilihan Kepala Daerah yang menurut Pasal 18 ayat (4) Perubahan kedua UUD 1945 dilakukan secara demokratis. Padahal satu tahun kemudian ditetapkan Pasal 22E ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Pemilu langsung diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, Anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Akibatnya, tidak terdapat koherensi antara cara pemilihan Kepala Daerah dan penyelenggaraan pemilu pada jabatan lainnya yang bersifat langsung.
Selanjutnya ketika terjadi pergeseran sistem pemerintahan, maka pertanyaan yang harus diajukan adalah apa relevansinya demokratisasi dengan perubahan sistem pemerintahan. Apakah ketika kita menggunakan sistem presidensil murni akan menjamin demokratisasi, atau kalau kita mengguanakan sistem campuran atau sistem parlementer itu berarti tidak demokratis?.
Pengalaman menunjukkan pada periode 1950-an disaat Indonesia menggunakan demokrasi parlementer justru bisa mempertahankan integrasi bangsa dan demokrasi. Kemudian dimasa 1999, pemerintahan Habibie dengan UUD 1945 naskah asli justru melahirkan proses demokratisasi yang dramatis, seperti kelahiran parpol, pemilu yang demokratis dll. Jadi pada dasarnya tidak ada relevansi antara sistem pemerintahan dengan demokrasi. Seperti yang dijelaskan Dr. Harjono, sistem pemerintahan hanyalah pilihan dan tidak akan menjamin tercipta tidaknya demokrasi.
Jadi berangkat dari narasi di atas, maka telah terjadi disorientasi dalam amandemen UUD 1945 dari paradigma transisi menjadi paradigma perubahan sistem pemerintahan, dasarnya juga tidak jelas.
Pertanyaannya kemudian apakah dengan perubahan sistem tersebut berhasil membentuk satu pemerintahan yang efektif?, pertanyaan ini harus diajukan karena sekarang banyak gugatan-gugatan. Dalam dunia sosiologi hukum, ketika suatu sistem tidak efektif maka hal itu menunjukkan bahwa aturan itu bermasalah.
Masalah efektifitas dan pergeseran paradigma sebenarnya berawal dari masalah kesepakatan dasar. Didalam proses amandemen ada 5 kesepakatan dasar:
Tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
Tetap mempertahankan negara kesatuan RI.
Tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial
Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal normative dimasukkan pada batang tubuh.
Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Dengan demikian, kesepakatan yang diambil oleh MPR itu menunjukkan bahwa MPR tidak menghendaki suatu pergantian UUD 1945, tetapi tidak juga setuju mensakralkan UUD 1945 hingga tidak boleh diubah sama sekali. Namun demikian, kompetisi politik di MPR sendiri menyebabkan kesepakatan itu tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan secara koheren dalam amandemen UUD 1945. selain itu kesepakatan dasar itu sendiri juga masih multi tafsir karena tidak memberikan penjelasan, batasan dan parameter yang jelas mengenai beberapa konsep yang terdapat dalam kesepakatan itu.
Misalnya berkenaan dengan kesepakatan mengenai Pembukaan UUD 1945 tidak jelas apakah terdapat kesepakatan mengenai substansi dasar filosofis dan dasar normatif yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu, sehingga dapat menjamin konsistensi dan koherensi antara Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal amandemen. Tak heran bila pada saat pembahasan terdapat insiden keluarnya Prof. Mubyarto dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I BP MPR sebagai kulminasi dari ketidaksenangannya atas kecenderungan liberalisme yang berkembang dikalangan perumus amandemen UUD 1945.
Situasi serupa melekat pula dalam kesepakatan tentang NKRI yang ternyata implementasinya dalam batang tubuh justru bertolak belakang dengan kesepakatan dasar. Ketentuan amandemen mengenai pemerintahan daerah pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945 justru cenderung ke arah federalisme sehingga bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) yang menentukan bentuk negara kesatuan.
Kesepakatan tentang sistem pemerintahan presidensial malahan berujung pada perubahan sistem ketatanegaraan. Berlakunya sistem presidensial murni mengakibatkan berkurangnya wewenang dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berimplikasi pada perubahan asas kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Kesepakatan itu sendiri memang tidak terlalu jelas apakah ‘ mempertahankan sistem presidensial’ berarti ‘hanya mempertahankan aspek presidensial dalam sistem campuran agar tidak berubah menjadi system parlementer. Atau lebih dari itu mengubah sistem pemerintahan menjadi sistem presidensial murni.
Namun demikian, terlepas dari berbagai kelemahan dalam proses perubahan konstitusi, harus pula diakui selesainya proses perubahan adalah sebuah prestasi sejarah yang harus dihargai. Mengapa demikian?, karena pada tahun 1950-an, konstituante yang dibentuk secara legitimatif dan di hasilkan dari pemilu yang sangat demokratis, ternyata gagal dalam merumuskan satu naskah UUD. Sementara MPR sekarang, satu lembaga yang banyak dihujat dan dicaci maki publik justru berhasil melakukan perubahan UUD 1945.

Dr. Saifudin SH., M.Hum
Negara pada hakekatnya adalah organisasi kekuasaan. Kekuasaan tak terbatas tends to corrupt, karena itu membutuhkan konstitusi untuk membatasi kekuasaan. Pertanyaannya bagaimana penyusunan kostitusi dimasa yang akan datang kalau kita akan melakukan perubahan dan mengapa partisipasi masyarakat diperlukan? Hal ini tidak lain karena konstitusi adalah kontrak sosial antara rakyat dan negara. Didalam kontrak sosial pada akhirnya melahirkan demokrasi perwakilan.
Dilihat secara terminologis demokrasi perwakilan adalah salah satu demokrasi yang ketika membuat sebuah keputusan yang bersifat publik di lakukan oleh satu lembaga perwakilan. Didalam demokrasi perwakilan rakyat kadang terlalu percaya dengan lembaga perwakilan yang ada. Hal ini membuat rentannya terjadi penyimpangan dan penyelewengan amanah yang dilakukan oleh lembaga perwakilan.
Faktor itulah yang kemudian memunculkan teori demokrasi partisipatoris. Demokrasi partisipatoris adalah suatu sistem demokrasi yang dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat publik dilakukan oleh lembaga perwakilan bersama rakyat. Mediasinya melalui berbagai kekuatan dalam masyarakat seperti interest group, pressure group, pers, LSM, perguruan tinggi dll.
Jadi konsep saya tentang demokrasi partisipatoris tetap tidak menafikan peran lembaga perwakilan. Tetapi dalam proses pengambilan kebijakan yang bersifat publik harus membuka diri untuk memberi ruang partisipasi pada rakyat. Dengan demikian rakyat dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan masukannya untuk dipertimbangkan sebelum keputusan ditetapkan.
Dengan bahasa yang lain, untuk memperbandingkan keduanya, maka demokrasi perwakilan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara demokrasi partisipatoris adalah dari rakyat oleh rakyat plus bersama rakyat.
Demokrasi partisipatoris muncul karena lembaga perwakilan baru sebatas representasi politik. Sementara ditengah-tengah masyarakat masih banyak representasi ide yang menyebar dikalangan masyarakat.
Atas dasar pijakan teoritik tersebut, muncul pertanyaan bagaimana proses kelahiran UUD 1945 pada periode perjuangan kemerdekaan? Seperti yang telah diketahui bahwa UUD 1945 lahir dalam suasana revolusi. UUD disiapkan oleh BPUPKI dan disahkan oleh PPKI. Dari aspek keterwakilan wilayah, BPUPKI belum sepenuhnya mencerminkan perwakilan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebab dari 62 anggota BPUPKI rinciannya adalah 26 orang dari jawa tengah (41,93 %), 14 orang dari Jawa Timur (22,58 %), 11 orang dari Jawa Barat (15 %) dan sisanya dari luar Jawa. Tetapi untuk Bali dan NTT belum terwakili.
Sementara dilihat dari aspek keterwakilan golongan tampak bahwa BPUPKI cukup representatif, karena didalamnya terdapat dari nasionalis, Islam, Katholik, arab dan Tionghoa.
Dalam konteks partisipasi masyarakat pada penyusunan perubahan UUD 1945, BP MPR melalui Panitia Ad Hoc I dalam penyusunan perubahan UUD 1945 melakukan berbagai program penyerapan aspirasi masyarakat melalui berbagai program penyerapan aspirasi masyarakat melalui berbagai kegiatan dengan cara : RDPU; Kunjungan kerja ke daerah; dan seminar. Berbagai kalangan masyarakat yang terlibat dalam penyerapan aspirasi masyarakat antara lain : para pakar; perguruan tinggi; asosiasi keilmuan; lembaga pengkajian; organisasi kemasyarakatan; dan LSM.
Sebagai kesimpulan, penyusunan UUD 1945 pada masa proklamasi belum menyertakan partisipasi masyarakat. Sementara dalam penyusunan perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa harus diakui adanya partisipasi masyarakat disana sebagai bentuk diakomodasinya demokrasi partisipatoris. Namun ada hal yang perlu menjadi catatan, dimana partisipasi masyarakat masih bersifat pasif, artinya pihak Panitia Ad Hoc I BP MPR yang aktif jemput bola, ini menunjukkan kurangnya kepercayaa masyarakat kepada MPR.
Selanjutnya, penyampaian partisipasi masyarakat hanya berhenti dari selesainya RDPU, yaitu seminar dan kunjungan ke daerah. Pelaku partsisipasi tidak dapat mengontrol lebih lanjut proses persidangan penyusunan konstitusi di MPR. Dengan demikian tidaklah muskil ketika terjadi kesenjangan antara masukan masyarakat dengan rumusan hasil perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Karea itu kedepan kalau dilakuka perubahan UUD 1945 harus melibatkan berbagai komponen masyarakat, pertama partai politik yang ikut sebagai peserta pemilu dan berhasil masuk ke DPR. Kedua partai politik yang ikut pemilu namun gagal masuk DPR, kemudian Parpol yang gagal ikut pemilu, pemerintahan, stake holder sebagai pemangku kepentingan dan elemen-elemen masyarakat yang tak terorganisir, elemen masyarakat yang terorganisir tetapi posisinya lemah dan terakhir elemen masyarakat yang terorganisir dan posisinya kuat.
Dengan demikian kalau syarat-syarat partisipasi tersebut diakomodir maka paling tidak akan mengecilkan kesenjangan yang lahir antara keinginan masyarakat dan rumusan hasil perubahan UUD 1945.


Kahar
Pada Pak dahlan.
1. UUD 1945-Pasal 29, Terkait Kebebasan Beragama; UUD 1945 sepertinya tidak lagi mengakomodir itu contohnya kasus Jamaah Ahmadiah yang dibubarkan.
2. UUD kapan batas waktu berlaku jika melihat kelemahan implementasi.
Keterlibatan masyarakat dalam perubahan UUD hanya di dominasi oleh tingginya interest group daripada bagian masyarakat yang lain. Apakah ada formula lain agar semuanya bisa terlihat.

Yani (Dosen Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta)
Demokrasi di indonesia masih sebatas demokrasi prosedural. Belum demokrasi substasial karena sistem yang ada sebenarnya tidak terlalu bermasalah. hanya orang-orang yang menjalankan sistem yang menjadi problem. Pertanyaannya bagaimana konsep yang harus di create agar orang-orang baik itu dapat masuk dan menjalankan sistem

Anang Z (Lembaga Ombudsman Daerah).
1. Mengenai pengaturan HAM di UUD 1945 sangat rinci tetapi terkesan hanya memindahkan pokok-pokok deklarasi HAM PBB.
2. Apakah benar sudah ada penelitian negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer di asia menjadi cukup maju.
3. Pasal 18 mengenai Otonomi Daerah karena lebih mengarah ke federal karenanya paradoks dengan Format negara kesatuan.
4. Bagaimana menset-up Partisipasi Masyarakat yang lemah dan tak terorganisir.

Dani (Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum UII)
1.Kecenderungan pergeseran dari excecutive heavy ke legislative heavy baik di tingkat
pusat dan daerah.
2. Mengenai impeachment Presien sebagai sesuatu hal yang tidak mustahil-dengan
melihat konfigurasi antara Presiden dan Partai Politik.
Siapa yang bertanggung jawab jika ada pertentangan antara MK dengan MA dalam
bingkai pelaksanaan kekuasaaan Yudikatif.

Bahar (Indonesian Court Monitoring)
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU maupun Perda yang kecil, yang lebih
banyak dikuasai oleh kekuatan Partai Politik.
Impeachment presiden lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan di DPR, faktor eksternal
hanya sub determinan.
Respon nara sumber;
Dr Aidul Fitriciada SH.,M.Hum
Secara umum salah satu problem kebangsaan kita setelah masa transisi adalah tidak memiliki kepemimpinan yang otentik. Otentik dalam artian pemimpin yang tidak terkait masa lalu. Masa transisi di Afrika selatan bisa sukses karena ada Nelson Mandela. Begitu juga masa transisi di korea selatan. Sementara di Indonesia masa transisi di pimpin Habibie, Gus Dur dan Megawati yang kesemuanya sama sekali tidak otentik. Selain itu kepemimpinan mereka tidak terlalu kuat. Padahal dinegara yang sedang krisis membutuhkan strong leadership. Keberhasilan Malaysia, Singapura, Thailand melakukan proses transformasi politik menjadi bangsa yang luar biasa maju dikarenakan memiliki kepemimpinan yang otentik dan kuat. Negeri ini pada akhirnya seperti negeri yang diazab, kepemimpinan tidak punya, banyak bencana, rakyat menderita dll.
Jadi masa transisi itu adalah perjumlahan dari pemilu yang demokratis, kebebasan politik, amandemen konstitusi dan kepemimpinanan yang otentik dan kuat. Ini semua akan melahirkan pemerintahan yang efektif. Di Indonesia, kita kekurangan pada dua hal yang terakhir, amandemen tidak bisa menjadi kesepakatan yang diterima bersama, sementara aspek kepemimpinan juga lemah.
SBY tidak memiliki kepercayaan diri, parameternya adalah upayanya untuk menguasai DPR, padahal mestinya tidak terlalu penting karena presiden tidak dapat diturunkan kalau presiden tidak melakukan pelanggaran hukum. Berikutnya adalah pada saat penyusunan kabinet. Kabinet di susun dengan memperhitungkan kepentingan- kepentingan parpol. Dan itu tidak ditanyakan siapa menterinya. Tetapi hanya ditawarkan kepada parpol bahwa parpol punya jatah. Faktor pertama menunjukkan bahwa kita tidak memiliki kepemimpinan di masa transisi. Sehingga proses demokrasi kita menjadi prosedural dimana para elit menemukan keseimbangan di level elit untuk saling menyesuaikan kepentingan mereka sendiri.
Persoalan sistem pemerintahan, mengapa harus presidensial dan kenapa tidak parlementer?, seperti yang pernah saya singgung diatas pernah ada penelitian yang dilakukan oleh Juan J. Lins dan Albert Stevan yang meneliti tentang perbandingan antara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dinegara-negara yang baru. Negara baru disini adalah Negara yang mengalami proses transisi seperti Spanyol dan Amerika latin. Di Amerika latin, Negara-negara yang berada dimasa transisi itu menerapkan sistem presidensial sementara di Spanyol menerapkan sistem parlementer. Dari hasil penelitian itu tampak bahwa Negara yang menggunakan sisitem parlementer mampu menopang dinamika masa transisi. Karena itu Spanyol mampu melompat dari era otoritarian dibawah Jendral Franco menjadi sebuah Negara yang demokratis. Sebaliknya di Negara-negara Amerika Latin yang terjadi adalah Siklus kudeta yang terus menerus.
Dalam sistem presidensial bisa saja Presiden tidak pernah berprestasi dan tidak melakukan kerja apa-apa namun tidak bisa diturunkan karena tidak melakukan pelanggaran hukum sebagai syarat untuk dilengserkan. Inilah salah satu problem dari sistem pemerintahan presidensial.
Sedangkan kondisi di Amerika lain lagi, mengapa sistem Presidensial itu muncul di Amerika, karena latar belakang masyarakat Amerika adalah masyarakat yang matang atau mature society. Ketika Amerika merdeka, hampir semua warga Amerika adalah pemilik tanah yang matang dan sangat terorganisir. Pemerintah di Amerika itu hanya semacam ‘kejahatan yang dibutuhkan’, kalau perlu itu dibatasi sekuat-kuatnya. Ini berbeda ketika Indonesia merdeka. Ketika Indonesia merdeka justru butuh bantuan. Karena itu kita memakai sistem negara kesejahteraan atau negara pengurus menurut istilah Hatta yang tujuannya agar kita memiliki spektrum untuk melakukan intervensi seluas-luasnya. Jadi dengan demikian antara Amerika dan Indonesia memiliki basis sosial yang berbeda.
Pertanyaannya kemudian apakah sistem presidensial itu cocok untuk Indonesia ketika pemerintahan justru harus banyak melakukan intervensi ?. Inilah problem-problem yang dipertanyakan. Seperti yang dinyatakan Pak harjono bahwa kita blank sama sekali saat mau mengamandemen UUD 1945 yang ternyata selesai dalam empat tahun. Kalau di Perancis evaluasi itu dilakukan dalam waktu yang sangat panjang yaitu selama 25 tahun. Selama ini kita selalu mengacu Thailand yang hanya perlu 100 hari untuk menyusun UUD. Namun yang kita lupakan adalah bahwa di Thailand penguasanya Raja, ketika rakyat menyusun UUD dan diserahkan ke Raja lalu kemudian kalau Raja setuju maka selesai. Sementara di Indonesia tidak ada raja.
Pengalaman Malaysia ketika pemilu, satu hari setelah pencoblosan langsung dihitung dan hasilnya diumumkan sekaligus oleh semacam KPU da selanjutnya oleh Raja. Satu hari setelahnya di tunjuk Perdana Menteri. Dalam jangka satu minggu kemudian terbentuk pemerintahan untuk berkuasa selama lima tahun dan didalam masa lima tahun itu tidak ada pemilu lagi. Dengan demikian ongkos penyelenggaraan demokrasi di Malaysia sangat murah meriah dan cepat.
Kondisi di Malaysia tersebut apabila dibandingkan dengan di Indonesia akan sangat bertolak belakang. Di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2008 akan terjadi Pemilu, Pilpres, dan Pilkada. Bisa kita bayangkan berapa Trilyun anggaran yang akan dikeluarkan. Di Jawa Tengah saja untuk Pemilihan Gubernur sekitar 400 Milyar, kalau di total dengan pemilihan Gubernur dibeberapa provinsi lain dan pemilihan kepala daerah di kabupaten atau kota tentu akan sangat melangit tingginya biaya yang akan dikeluarkan. Seandainya biaya itu dialokasikan untuk pendidikan tentu akan lebih bermanfaat. Sekarang ada gugatan dari APBN 2007 karena anggaran 20% yang diamanahkan konstitusi realisasinya hanya sekitar 11,7 %.
Terakhir soal kesepakatan dasar, inkoherensi antara prinsip NKRI dan pasal 18 bahwa kesepakatan dasar itu hanyalah pemulas bibir saja. Yang harus kita perhatikan bahwa kekuatan-kekuatan yang ada di MPR hanya memperhatikan aspek formal tanpa mempersoalkan pada substansi. Jadi soal Pembukaan, NKRI dan sistem Presidensial hanya dipertahankan secara formal bahkan secara secara nomenklatur, sedang substansi tidak. Ini menunjukkan bahwa hasil amandemen itu tidak ada koherensi dari satu aturan dan aturan lain, padahal sebuah syarat dari aturan itu harus ada koherensi.
Berkenaan dengan federalisme, sebelumnya pernah ada gagasan dari salah satu partai yang mengusung wacana tersebut. Waktu itu ada UU No 22 tahun 1999 yang disusun oleh Tim Sembilan yang kesemuanya adalah lulusan Amerika. Jadi dibelakang kepala mereka, federalisme itu menjadi satu acuan. Inilah yang kemudian memunculkan tudingan bahwa Amandemen tersebut adalah titipan Amerika.
Berikutnya soal efektifitas pelaksanaan UUD 1945, secara factual memang terdapat penolakan dari banyak kalangan dari hasil amandemen dan dilihat secara normatif memang terdapat banyak ketentuan di UUD 1945 yang tidak koheren. Contohnya soal prinsip NKRI dan pasal 18 UUD 1945 yang berciri federal. Inkoherensi dalam sebuah atura pada akhirnya membuat komplikasi atau kesulitan dalam prakteknya. Namun demikian kita tetap harus mendialogkan antara kesulitan di tingkat penegakan dan aspek normatif yang tidak koheren. Misalnya berkenaan dengan anggaran pendidikan, putusan MK kalau ditafsirkan secara betul, maka sebenarnya kita bisa menganggarkan 20 %. Dalam Putusan MK kemarin ternyata pemerintah menyebar dan mendistribusikan anggaran kepada departemen-departemen lain untuk pendidikan in service training atau pendidikan kedinasan. Kalau dijumlahkan semua totalnya lebih dari 19 %. Seharusnya, menurut definisi UNESCO pendidikan adalah pre service training atau pendidikan sebelum bekerja. Karena itu anggaran pendidikan itu diserahkan pada departemen pendidikan dan departemen agama, tetapi ini tidak terjadi.
Terakhir soal kewenangan MA dan MK, dari dulu memang menjadi pertanyaan, siapa yang mengeksekusi putusan MK, jawabannya tidak ada. Jadi persisi seperti putusan PTUN, tergantung kerelaan dari badan yang di mohon. Dalam kasus putusan tentang TIPIKOR, putusan MK dimasalahkan oleh MA. Disini terdapat kesalahan sistem karena MK itu terdapat dalam Sistem Parlementer dimana putusan DPR dalam bentuk UU tidak dapat diganggu gugat , karena itu MA hanya melaksanakan putusan DPR.
Pada tahun 1933 muncul satu kasus di Jerman, bahwa yang menjadi pemenang pemilu adalah NAZI. Ternyata pemenang pemilu yang demokratis itu melahirkan sistem yang luar biasa totaliter. Dari sinilah muncul gagasan MK untuk menguji putusan-putusan parlementer agar tidak bersifat procedural belaka. Dengan kata lain kemunculan MK adalah sebagai pengimbang parlemen di Jerman.
Di Indonesia, kita menggunakan sistem presidensial tetapi meiliki Mahkamah Konstitusi. Ini menjadi tidak koheren . Mestinya kita memililih satu yaitu MA, agar tidak terjadi kesulitan manakala putusan MK tidak dilaksanakan oleh MA. Meskipun sebenarnya MK juga cukup berperan karena itu kewenangan MK harus tetap diperkuat, kecuali kalau kita memilih MK untuk dibubarkan dan mengembalikan pada MA. Namun dalam jangka waktu lima tahun ini tidak mungkin karena ongkosnya mahal sekali. Dengan demikian, sementara kita perlu memanfaatkan MK untuk merajut koherensi, karena dalam teori konstitusi, MK dapat mengubah UUD tanpa melakukan proses amandemen. Karena itu apabila ada gugatan pada MK, untuk situasi sekarang justru kita harus mendorong MK. Salah satunya harus ada putusan agar MA dapat mematuhi putusan MK.

Prof Dr Dahlan Thaib SH.,MSi
Berdasarkan perubahan UUD 1945, mengenai impeachment sangat memberatkan klausula proseduralnya yaitu 3/4 harus hadir. Sementara untuk merubah UUD hanya perlu 2/3 harus hadir. Jadi dalam hal ini lebih berat menjatuhak Presiden darpada mengubah UUD 1945. Karena itu untuk melakukan perubahan UUD 1945 kedepan harus lebih hati-hati lagi.
Konstituante sebenarnya dulu tidak gagal dalam membuat UUD. Konstituante telah bekerja selam 9 tahun dan hanya gagal dalam menetapkan dasar negara, Islam atau Pancasila. Baik kelompok nasionalis maupun Islam tidak ada yang bisa mencapai 2/3. karena itu dibubarkan dekrit oleh Preiden Soekarno.
Persoalan Ahmadiyah, demokrasi tidak sembarangan. Kalau kita baca tujuan negara yang salah satu diantaranya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, maka tugas negera melindungi segenap bangsanya. Namun caranya yang harus lebih elegan.
Persoalan pemberhentian presiden untuk konteks sekarang adalah persoalan hukum dan bukan persoalan politik. Dimasa lalu ketika UUD 1945 belum diamandemen, pemberhentian presiden adalah persoalan politik. Apabila DPR berbeda pendapat dengan Presiden, maka DPR menegur Presiden dengan memorandum 1 sampai 2, dan apabila msih tidak diperhatikan juga akan masuk pada Sidang Istimewa. Siapapun yang sudah masuk pada Sidang Istimewa pasti jatuh karena karena anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR.
Menyangkut masalah HAM, dulu ketika perubahan UUD 1945 disusun ada perdebatan terperinci atau tidak. Pada akhirnya kemudian keputusannya terperinci karena ditakutkan ada penyelewengan. Meskipun secara teori sebenarnya tidak perlu terperinci, karena itu sudah masuk wilayah UU.
Berikutnya adalah soal legislative, kalau dalam bidang pengawasan DPR dan DPRD kuat, namun dalam bidang legislative lemah. Sebagai argumentasinya, pertama, Forum DPR atau DPRD adalah forum yang sangat luas dan tidak sama dengan eksekutif. Kedua, Forum DPR atau DPRD sangat heterogen. Hal ini membuat mereka tidak terlalu kuat dalam menyusun sebuah produk perundangan.

Dr Saifudin SH., MSi
Apabila kita mau melakukan perubahan UUD 1945, maka harus membuka ruang partisipasi masyarakat. Kalau untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam sebuah organisasi yang sudah cukup established mungkin tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika mau melibatkan partisipasi masyarakat dalam organisasi-organisasi yang tergolong OTB (organisasi tanpa bentuk).
Sebenarnya untuk memberdayakan OTB tidak terlalu sulit. Strateginya bisa dengan mengajak partisipasi mereka lewat media massa yang representative. Namun tetap juga harus ada pembatasan waktu, karena dalam teori saya, tetap saja yang berwenang untuk melakukan proses perubahan adalah MPR.
Berikutnya adalah bagaimana mengurangi dominasi parpol dalam proses politik. Peran parpol tidak bisa dikurangi karena memang peran parpol adalah untuk mengartikulasi, mengagregasi, dan untuk diperjuangkan sebagai keputusan politik. Masalahnya disini adalah bagaimana adanya pertisipasi rakyat tidak hanya sekedar hak tapi juga bagaimana rakyat bisa mengkontrol proses dari apa yang mereka usulkan.
Mengenai UU No 10 tahun 2004, disana hanya ada hak masyarakat untuk berpartisipasi dan belum pada tingkatan hak untuk proses mengevaluasi. Kerena itu perlu dilakukan perubahan dalam UU tersebut.


Kesimpulan Laporan
Secara umum acara berjalan lancar. Dari segi tehnis pelaksanaan misalnya, meskipun sempat molor hampir satu jam dari yang dijadwalkan karena keterlambatan peserta, namun pada akhirnya perserta justru melebihi jumlah target. Dari 100 orang yang diagendakan kenyataannya 113 orang yang tercatat di presensi kehadiran. Sementara dari sisi kualitas forum juga terbilang sukses, parameternya dapat diukur dari dinamika yang tercipta, dimana peserta sangat antusias menanggapi presentasi dari para nara sumber.
Namun demikian ada satu hal yang perlu jadi catatan kami kedepan yaitu mengenai ekspose media massa. Meskipun undangan sudah tersebar ke beberapa media, namun catatan menunjukkan hanya tiga perwakilan media yang hadir. Rinciannya satu dari media elektronik yaitu RBTV dan dua media cetak yaitu: Kedaulatan Rakyat dan Republika. Ke depan tentu harus ada upaya yang lebih massif untuk melakukan approach ke berbagai media agar target sosialisasi ke masyarakat dari substansi acara yang diselenggarakan menjadi lebih maksimal. Dengan demikian setiap penyelenggaraan acara tidak hanya menjadi konsumsi peserta secara terbatas, tetapi juga dapat berkontribusi dalam memberikan pendidikan dan kesadaran hukum bagi masyarakat luas melalui pemberitaan media massa. Kalau hal itu tercipta, maka setiap penyelenggaraan acara akan mengandung bobot sebagai ‘aktor’ sejarah.



Penutup
Demikian Laporan Hasil kegiatan kami susun, semoga dapat bermanfaat dan menjadi acuan dalam menyelengarakan acara-acara berikutnya di lain waktu. Akhirul kalam kalau masih terdapat celah disana sini, maka dengan segala hormat kami memohon masukan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk berkenan memberi masukan dan arahannya. Akhirnya, sekali lagi kami mengucapkan Terima kasih yang tiada ujung atas kepercayaan MK RI menjalin kerjasama.